Team The Power Of IT : Terima Kasih Atas Kunjungan Anda Silahkan Ambil Informasi yang dianggap Anda Penting dan Beritahu kami bila ada sesuatu yang kurang lengkap atau tidak menarik atau kurang Memuaskan (*_*)

Cari

Wednesday, October 10, 2012

Daftar Nilai Mid Semester Ganjil

Pengumuman Nilai Ujian Mid Semester Ganjil
Tahun Pelajaran 2012/2013

Silahkan Klik Disini Untuk Download Nilai Mid Semester Ganjil
Untuk Jurusan RPL, MM

Guru Pengampu : Feri Anggriawan, S.Kom

Wednesday, August 8, 2012

Makalah Sejarah Kodifikasi dan Pentadwinan Hadist

(Feri Anggriawan, STAIS Majenang)


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Hadist atau yang lebih dikenal dengan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan. . Dan peran hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang diakui oleh mayoritas madzhab, tidak dapat dinafikan.

Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses tadwin (kodifikasi) nya sangat berbeda dengan al-Quran. Sejarah hadits dan periodesasi penghimpunan nya lebih lama dan panjang masanya dibandingkan dengan Al – qur’an..Al hadits butuh waktu 3 abad untuk pentadwinanya secara menyeluruh. Banyak sekali liku – liku dalam sejarah pengkodifikasian hadis yang berklangsung pada waktu itu.

Atas dasar masalah yang diuraikan di atas makalah ini disusun Disamping itu adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ulumul hadist.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah makalah ini akan membahas beberapa hal sebagai berikut :

1. Kapankah Kodifikasi Hadist Resmi dilaksanakan ?

2. Metode apa saja yang dilakukan untuk pengkodifikasi hadist ?

3. Adakah implikasi dari kegiatan pentadwinan hadis ini ?

C. Ruang Lingkup

Menjelaskan tentang Sejarah Kodifikasi Hadist dari abad Ke II, III, dan IV H dan perkembangannya.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan merupakan ungkapan sasaran – sasaran yang ingim dicapai dalam makalah ini.

Dalam makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejarah Pengkodifikasian hadits dan perkembanganya

2. Untuk mengetahui metode apa saja dalam pentadwinan hadis tersebut

3. Untuk mengetahui implikasi kegiatan pengkodifikasian hadis ini

4. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadis.

BAB II

DIWANUL HADITS

A. Pengertian

Mengutip kitab Al Muhith, Al – Fairuz mengatakan bahwa : “ Tadwin secara bahasa diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al – shuhuf). Menurut Dr. Muhammad Ibn Mathar AL – Zahrani tadwin adalah : ” mengikat yang berserakan lalu mengumpuklannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran – lembaran. Sedangkan secara luas tadwin sendiri diartikan dengan al Jam’u (mengumpulkan).

Apabila merujuk dari 2 pengertian diatas dapat disimpulkan pentadwinan hadis bisa diartikan Diwanul Hadis Dalam bahasa Indonesianya tadwin ini lebih umum dikenal dengan nama kodifikasi.

B. Kapankah Kodifikasi Hadits Resmi ?

Beberapa pendapat yang berbeda berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai. Adapun beberapa pendapat tersebut adalah :

1. Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi;, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.

2. Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir Abdul Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.

3. Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti Abbasiyyah, Umar ibn Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis – hadis Nabi Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan ‘Umar Ibn al-Khaththab yang bijak bestari. Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin. kepada Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm, beliau menyatakan:

“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”

Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry) seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.

Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.

Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa Umar bin Abdul Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.

C. Latar Belakang Tadwin Hadits

Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijriah, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-’Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah.. Pada waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa. Beliau ini dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke – 5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :

1. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.

2. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu (maudhu’) yang banyak beredar.

3. Al – Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.

4. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan – peperangan tersebut.

Dari sudut analisa politik, tindakan ‘Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideology Jama’ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi’ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. ‘Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar (Ibn al-Khaththab), ‘Abdullah Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah Ibn Mas’ud.

Mushthafa al-Siba’i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan ‘Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi’ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba’i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba’i, sebelum masa ‘Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha – usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd Allah Ibn ‘Amr Ibn al -’Ash.

D. Ciri – ciri Pentadwinan tadwin hadits pada abad ke 2 H

Ada beberapa hal yamg menjadi ciri – ciri proses pengkodifikasian hadist yang ditulis pada periode ini :

1. Umumnya menghimpun dari hadits Rasul SAW serta fatwa sahabat dan tabi’in

2. Himpunan Hadits masih bercampur aduk antara beberapa topikyang ada

3. Belum dijumpai upaya pengklasifikasian antara hadits shahih, hadits hasan dan hadits Dhaif.

E. Kitab – kitab hadits Abad Ke 2 H

Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :

1. Al – Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ). Selama rentang waktu ini,sejumlah buku hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini.Buku ini ditulis antara tahun 130H ampai 141H. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits ,dimana :

a. 600 hadîtsnya marfu ’(terangkat sampai kepada Nabi SAW ).

b. 222 hadîtsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan)

c. 617 hadîtsnya mauquf (terhenti ampai kepada tâbi ’în)

d. 275 sisanya adalah ucapan tâbi ’in.

2. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man ( wafat 150 H ).

3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I ( 150 – 204 H ).

4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I ( 150 – 204 H

5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin ( 148 – 203 H ).

6. Al-Jami’ oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani ( wafat 311 H )

7. Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).

8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud ( 94 – 175 H ).

9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina ( 107 – 190 H ).

10. as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i ( wafat 157 H ).

11. as-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair b. Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.

BAB III

MASA PEMURNIAN DAN PENYARINGAN

A. Karakteristik Periode ini

Pada abad ke 3H ini para ulam’ Hadis memfokuskan pengkodifikasian hadis pada beberapa hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah di kemukaan pada bab sebelumnya bahwa pembukuan hadis belum terpisah – pisah antara hadis yang shahih, mauquf maupun yang maudu’.

Beberapa langkah – langkah untuk melestarikan hadits pada abad ke 3 H ini adalah sebagai berikut :

1. Perlawatan ke Daerah – daerah para perowi hadis yang jauh dari pusat kota

Contoh :
• Imam Bukhari melakukan perlawatan selama 16 tahun ke lebih dari 8 kota di timur tengah seperti mekah, madinah Baghdad mesir

2. Pengklasifikasian hadits Marfu’, hadits mauquf dan maudlu’ (palsu).

3. Ahadits Nabi, atsar sahabat dan aqwal (ucapan) tâbi ’în dikategorikan, dipisahkan dan dibedakan.

4. Riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke – 2 H diperiksa kembali dan di tashih (diautentikasi).

5. Selama periode ini, bukan hanya riwayat yang dikumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadîts, para ulamâ`menformulasikan ilmu yang berkaitan dengan hadîts (lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah ditulis

6. Penyeleksian dan pemilahan hadits kepada shahih, hasan dan Dhaif
Contoh :
• Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawih (guru Imam Bukhari).

• Penyusunan kitab Sahih Bukhari

B. Kitab – kitab Hadits pada abad ke -3 H.

1. Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke – 6 kuttubus shittah itu adalah :

• Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al – Bukhari ( 194 – 256 H ).
• Ash-Shahih oleh Imam Muslim al – Hajjaj ( 204 – 261 H ).
• As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’at ( 202 – 275 H ).
• As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya’ab an – Nasai ( 215 – 303 H ).
• As-Sunan oleh Imam Abu Isa at – Tirmidzi ( 209 – 279 H ).
• As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah ( 209 – 273 H ).

2. As – Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri ( 181 – 255 H ).

3. Al -Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal ( 164 – 241 H).

4. A l-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud ( wafat 307 H ).

5. Al – Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah ( wafat 235 H ).

6. Al – Kitab oleh Muhammad Sa’id bin Manshur ( wafat 227 H ).

7. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa’id bin Manshur ( wafat 227 H ).

8. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari ( wafat 310 H ).

9. Al – Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi ( wafat 276 H ).

10. Al – Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih ( wafat 237 H ).

11. Al – Musnad oleh Imam ‘Ubaidillah bin Musa ( wafat 213 H ).

12. A – Musnad oleh Abdibni ibn Humaid ( wafat 249 H ).

13. Al – Musnad oleh Imam Abu Ya’la ( wafat 307 H ).

14. Al – Musnad oleh Imam Ibn. Abi Usamah al-Harits ibn Muhammad at-Tamimi ( 282 H ).

Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.

BAB IV

MASA MENGHAFAL DAN MENGISNADKAN

A. Kegiatan periwayatan Hadis

Pada periode ini penghimpunan hadists disertai pemeliharaanya tetap dilakukan walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadis – hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak sebelum periode ini.

Di dalam era ini jenis kitab – kitab hadis Nabi Saw.mencakup sebagian besar kitab kitab hadis yang sifatnya mengumpulkan kitab – kitab hadis yang telah di himpun dalam kitab kitab hadis Nabi Saw.sebelumnya.

Kegiatan periwayatan Hadits pada periode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah ( Lisensi / sertifikat dari guru untuk murid untuk mendapat izin meriwayatkan hadits ) dan muktabah ( pemberian catatan hadits dari gurunya ). Sedikit sekali para ulama’ yang melakukan hafalan seperti ulama Muqaddimin

B. Bentuk penyusunan kitab pada periode ini

Para Ulama’ Hadits pada umumnya merujuk kepada karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa, dan meyelidiki sanad – sanadnya. Seperti :

1. Kitab Jami’ kutub as – sittah ( kitab hadis yang mengumpulkan hadis hadis Nabi Saw yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadis seperti (Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan at-Turmudzi, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah di antaranya karya Ahmad bin Razin bin Mu ’awiyyah al Abdari al Sarqisthi (w.535 H.) dan beberapa kitab lainnya.

2. kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Contoh : Mustakhraj shahih bukhari oleh Jurjani, dan Mustakhraj Sahih Muslim Oleh Abu Awanah

3. kitab Athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.

4. kitab-kitab Zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu. Contoh : Zawaid ibnu Majah ‘ala al – usuli al Khamsah.

5. Kitab Syarah

6. Kitab Mukhtashar

7. Kitab Petunjuk

8. Kitab Istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya. Contoh : Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 – 405 H ).

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adanya pembukuan hadits mempunyai banyak implikasi – implikasi terhadap perkembangan pemahaman tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul hadits itu sendiri khususnya.

B. Implikasi Praksis

Implikasi praksis dapat kami uraikan menjadi beberapa bagian di bawah ini :

1. Memudahkan pencarian hukum – hukum syari’at mengingat hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al Qur’an.
Berhukum dengan hadits Nabawi merupakan kebutuhan agama yang sudah pasti. Dan dalam perkembangannya hadits – hadits tersebut telah disusun atau dibukukan berdasarkan masailul fiqh. Seperti kitab – kitab sunan dan lain -lain.

2. Memudahkan penilaian hadits karena sebagian hadits sudah diteliti secara mendalam oleh peneliti sebelumnya.

3. Terpeliharanya kemurnian tradisi Nabi

Banyaknya berita-berita yang sampai ke hadapan kita dengan mengatasnamakan Nabi, sering membuat kita ragu akan kebenaran berita tersebut. Hanya dalam hadits (sunnah) Nabi, yang terwakili dengan hadits shahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad dapat terpelihara.

4. Memungkinkan adanya penulisan -penulisan buku hadits baru setelah penulisan kitab-kitab terdahulu

C. Implikasi Teoritis

1. Hadits ahad dapat diterima

2. Ilmu hadits akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan yang dihadapi oleh hadits

3. Pintu ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit.

Namun tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir dengan baik oleh penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Al – munawar, Said agil. 2004. Al qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press
Azami, Muhammad Musthafa., 1994. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), , Jakarta : Pustaka Firdaus Kodifikasi Hadis: Sebuah Telaah Historis http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 16 February, 2010, 16:01
Hasan ar-Rahmânî , Abdul Ghoffâr. 2007. Pengantar Sejarah Tadwîn (Pengumpulan) Hadîts Sumber : http://www cl earpath com
Supatra Munzier. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Ulama ’i , A.Hasan Asy ’ari. Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis.
Yuslem Nawir. 2001. Ulumul Hadits. Jakarta : PT. Mutiara sumber Widyia